Thursday, September 30, 2010

Akhirnya Menulis Sajak Lagi

Sajak ini tentang mengajak
Ajakan untuk beranjak
Agar tidak terinjak ataupun diinjak-injak
Yang katanya mereka tahu dari sejak
Tumitmu berpijak


Sajak ini lagi-lagi tentang sang pembajak
Yang sekali lagi ingin jadi bijak
Lupa di mulutnya masih terkulum permen kojak

Kisah Langit-Langit

Oleh: Ratu R. Saraswati

Aku sudah ada disini sejak lama. Semenjak mereka membangun rumah ini, dan membuatku berada jauh di atas. Aku hidup sendiri tanpa pengasuhan dan tanpa teman, yang aku lakukan hanyalah terlentang ke bawah di tempat yang sama selama kira-kira 20 tahun belakangan ini. Aku bisa melihat semua kejadian yang berada di bawahku. Sayang aku hanya tahu rasanya berada di ruangan ini, sebuah ruang kecil kecil di atas loteng. Rumah ini adalah rumah sewaan. Maka aku tak pernah mempunyai tuan yang tetap.

Waktu itu seorang pemuda desa baru saja menempati kamar ini, tingkah lakunya kikuk. Satu malam dua malam ia masih tak pernah pergi keluar kamar, paling hanya sesekali keluar untuk beli makanan. Malam-malam lainnya ia jarang pulang ke kamar. Ketika ia pulang bau alkohol semerbak di seluruh kamar. Lain hari juga begitu adanya. Hingga suatu saat aku mendengar suara telefon yang dikencangkan dari telefon genggamnya, ibunya menangis karena tahu iya tak pernah pergi kuliah. Malam itu hujan deras, aku sengaja merobek tubuhku hingga kubiarkan air hujan menerpa wajahnya hingga ia sadar dari mabuknya.

Setelah itu sepasang muda-mudi sepertinya mereka sedang bersembunyi dari sesuatu, mereka tak pernah keluar dari kamar. Sering kali, sang pria menggigil minta sesuatu, hingga berteriak-teriak. Lalu kulihat si wanita mengendap-endap ke keluar seperti mau mencuri. Lalu setelah beberapa jam, ia kembali membawa apa yang si pria inginkan. Tapi ternyata itu bukan hal yang baik. Si pria tewas sehabis menghabiskan pemberian si wanita. Si wanita menangis bukan kepalang, ia mencari tali tambang dan mengikatkannya kepadaku. Aku tak peduli dengan mereka, mereka berperangai buruk, kukokohkan tulang-tulangku. Biar saja ia mati.

Lama tak ada penghuni di kamar ini, hingga suatu hari seorang gadis datang. Gadis yang lugu, mengingat ia tak pernah pulang malam, selalu bangun pagi dan berdoa. Ia juga rajin membersihkanku dari sarang laba-laba, menambal tubuhku yang robek, dan juga menambahkan hiasan berupa bintang bintang kecil di dadaku. Ia gadis yang manis. Aku selalu mengamatinya setiap tidurnya. Ia selalu tidur menghadap ke arahku. Seakan ia percaya bahwa aku ada. Ia selalu tidur dengan wajah seperti malaikat.

Hari berganti, aku masih disini. Kini gadis itu semakin dewasa. Setiap harinya aku selalu menjaganya setiap ada disini, dari panas terik di luar, dan dari hujan badai yang datang tanpa tendeng aling-aling. Ia tumbuh semakin cantik. Aku jatuh cinta padanya. Aku disini akan selalu ada untuknya, bukan karena pamrih, tapi memang karena aku ingin membalas budinya saja. Setiap malam minggunya ia sering mematut diri di depan kaca, mencoba beberapa gaun, tapi selalu berakhir dengan tidur. Tak ada yang pernah mengajaknya pergi di malam minggu. Rasanya aku sedih melihat dirinya yang kesepian. Setiap sore ia suka menyanyi lirih di dekat jendela sambil melepaskan balon gas. Balon gas itu digantungkan sebuah kertas. Entah apa isinya aku tak tau pasti. Yang jelas setiap hari ia melepaskan balon gas berwana merah itu ke langit luas. Sebelum dilepaskan ia selalu mengecup balon dengan mata terpejam seperti berdoa.

Sudah berbulan-bulan ia melakukan kegiatan itu, kunamakan kegiatan itu sebagai “melepas-balon-cinta”. Hingga suatu hari, seorang pemuda datang dengan membawa serpihan balon merah. Si gadisku pun tersenyum senang. Mereka nampak cocok. Sang pemuda setiap hari datang, entah siang, entah malam, bahkan juga menginap. Rasanya aku tak rela membagi penjagaanku kepadanya. Pemuda ini bahkan tetap berada di kamar ketika gadisku pergi ke luar. Aku sungguh membenci perilakunya. Aku sering menemukan ia mengotori kamar dengan cairan menjijikkan ketika gadisku tak ada. Ketika sang gadis menanyakan ia hanya berkilah ia tadi menumpahkan susu kental manis ke lantai. Menjijikkan sekali kebohongan itu. Semakin lama si gadis jatuh terlalu dalam dengan kata-kata manis si pemuda. Pemuda sering membual tentang rumah kecil dengan padang poppy di luarnya yang ia janjikan ketika nanti mereka menikah.

Malam itu, hujan deras mengguyur seluruh kota, gadisku dan sang pemuda datang dengan basah kuyup masuk ke kamar. Lalu si pemuda mulai merayu sang gadis dengan mulai meraba gadisku. Gadisku menolaknya, ia berjalan menjauhi si pemuda. Ia terkaget, dari mata si pemuda, sepertinya ia tak mengenali lagi pemuda itu. Pemuda itu menyergapnya dengan liar. Ia di hempaskan ke tempat tidur. Aku sudah tak bisa lagi menyaksikan semua ini, Bila aku mesti mati, aku mau melakukannya demi gadisku, rasa cintaku amat besar untuknya. Kurentakkan seluruh tubuhku, rasa sakitnya menjalar seiring dengan tetesan air hujan yang menerpa tubuhku. Si gadis meronta, tapi si pemuda nampak lebih kuat dan menguasai keadaan.

Kuhempaskan tubuhku sekuat tenaga terakhir yang kupunya. Lalu aku pun menjatuhkan seluruh tubuhku ke arah pemuda itu. Aku ingin menyelamatkan gadisku. Detak jantung si pemuda pun tak terdengar lagi. Di tengah terpaan hujan yang memasuki kamar, si gadis pun terjaga. Dan aku hanya serpihan mati sekarang.

Sunday, September 26, 2010

Tuesday, September 14, 2010

Yang Namanya Berdoa

Ya katanya sih harus setiap saat. Sebelum makan, sebelum masuk kamar mandi, setelah tidur, saat mau berangkat. Setelahnya? Ya harusnya juga berdoa. Tapi kita sering alpha. Saya sendiri mungkin sudah lupa bagaimana bunyi doa setelah makan , sering tertukar dengan doa setelah keluar dari kamar mandi. Artinya kita jarang bersyukur atas apa yang diberi. Setelah mendapatkan yang diinginkan lantas lupa berterimakasih.

Sejak kecil ayah dan ibu kita mengajarkan cara berdoa, memintalah keselamatan kepada-Nya, mintalah jalan kepada-Nya. Minta lah apapun.

Doa- doa itu kita lafalkan dari waktu ke waktu, ketika menginginkan sesuatu, menolak bala, pendek kata menguntungkan kita si pendoa. Namun perlahan pendidikan beragama yang telah saya dapatkan semenjak dulu, nampak hanya sebagai rutinitas. Seperti membuka tutup pulpen supaya dapat menulis, seperti mengambil air untuk menggambar cat air. Lalu apa?

Menulis apa?
Menggambar apa?
Tujuan mu apa?

Katanya untuk mencari Ridho-Nya, ya?


Saya rasa setiap manusia harusnya mencari Tuhannya sendiri. Lantas menjadikannya tujuan.

Tuhan bagi saya, mungkin berbeda dengan Tuhan bagi Anda. Toh Ia punya 99 nama yang berbeda bukan? Untung saja itu tidak menjadikannya terpecah dan berkonsep politheisme.

Lalu apakah Tuhan itu candu? Mungkin itu bagi segelintir yang memilih untuk masih bergantung. Sejak kecil berada di lingkungan pendidikan islami membuat saya hafal benar dengan pengajarannya, suatu lembaga tertentu. Punya teman-teman dari golongan yang sama dengan pengajaran yang sama, lantas menjadi pengamat apa yang terjadi dengan kami dewasa ini. Kadang hanya bisa mengelus dada. Ternyata dengan semua pengetahuan yang dimiliki, tak ada yang tersisa ya sekarang malah lebih tepatnya meninggalkannya. Bukannya mau menghakimi pilihan hidup orang lain, hanya nilai-nilai itu masih sedikit menguasai diri saya menjadikannya sebagai tanggung jawab moral. Sedangkan di hati kecil masih ada pembenaran, Ffff this, ffff that, we're just common people!

Lantas apakah yang orang tua dan guru-guru kita ajarkan dulu?
Entahlah, sudah lama saya memilih untuk tidak mencari tahu. Banyak yang bilang untuk mencari tuhan dengan ilmu, menyudutkan agama sebagai kebodohan dan kepercayaan membabi buta atas sesuatu yang non-fisik. Namun dengan segala kebodohan yang saya miliki, saya yakin ia ada di 'Arsy-Nya.


Selamat Lebaran 1431 H.

Lebaran