Saya baru saja sadar, lucunya disadarkan ketika disodorkan isian testimoni wisudawan yang diberikan oleh kampus saya. Ternyata cita-cita dalam hidup saya bukanlah untuk menjadi seniman besar.
Saya ingin mendirikan organisasi anti-bullying. Semasa sekolah berkali-kali saya dibully, sampai habis rasanya harga diri ini. Bingung rasanya harus percaya kepada siapa. Bahkan orang dewasa yang patutnya membantu, seperti guru BK, justru menyalahkan saya karena dianggap terlalu sensitif.
Di Indonesia, bullying bukanlah masalah yang dianggap serius. Banyak yang meremehkan kasus bullying sebagai kasus pergaulan biasa. Padahal apakah ada yang lebih buruk daripada membangun kepercayaan bahwa diri kita lebih baik mati daripada mesti mengalami perlakuan buruk setiap hari di lingkungan kita. Ah cengeng! Masa baru diperlakukan seperti itu pikirannya mau bunuh diri? Coba katakan itu kepada keluarga yang salah satu anggotanya meninggal bunuh diri akibat bullying, Anda akan malu.
Banyak yang berhasil mengenyahkan pikiran bunuh diri maupun menyakiti diri sendiri. Banyak orang yang saya kenal masih trauma dengan rangkaian peristiwa bullyingnya di masa lalu. Sebut saja PTSD (Post Traumatic Stress Dissorder), yaitu salah satu efek jangka panjang akibat kejadian buruk di masa lampau. Banyak dari orang yang saya kenal itu merasa diri mereka tidak berharga, dan tidak mampu menjalani hidup mereka, padahal peristiwa bullying yang menimpa mereka telah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Tapi hal tersebut masih saja mengganggu mereka bahkan dalam mimpi-mimpi mereka.
Mungkin sebagian besar pelaku bullying tidak sadar apa yang mereka lakukan benar-benar berpengaruh besar pada korban. Mereka bersembunyi pada kelompok besar teman sebaya yang telah terbiasa bekerja sama menyudutkan orang yang lebih lemah. Menjadikan setiap centimeter dari tubuh korban sebagai olok-olok, entah pakaian, mimik, postur tubuh, cara berjalan, apapun yang mereka bisa tertawakan. Meskipun itu tidak lucu.
Mungkin itu hanya tatapan jijik, mungkin juga perkataan bodoh.
Bisa jadi juga tamparan di pipi, ludah di muka, bahkan tonjokan membiru di tubuh.
Lalu mereka membuat nama panggilan sebagai kata sandi, supaya lebih leluasa untuk mengolok sang korban. Mereka berkerumun, berguman seperti lebah, mendiskusikan bagaimana caranya agar orang-orang lain semakin membencinya. Menciptakan isu, menyebarkannya bagai virus penyakit. Tebak siapa yang terinfeksi? Korban kita.
Waktu telah berjalan sedemikian jauh, mungkin mereka sudah lupa apa yang mereka lakukan. Mereka menjalani hidup tanpa ada setitik ingatan pun akan apa yang pernah mereka lakukan. Namun korban bullying akan hidup bersama dengan memori itu selamanya, mencoba mengais apa yang tersisa dalam diri mereka.
Mereka butuh teman yang mendengarkan. Bersyukur saya punya beberapa karib yang selalu ada di masa-masa sulit itu. Arimbi, Nurin, Nadya, makasih banyak ya.
Sekarang saya sering mengobrol dengan teman-teman yang pernah mengalami bullying, setidaknya kami bisa saling membantu. Alangkah baiknya jika pertolongan maupun konseling diberikan mereka. Setidaknya mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian, dan bukan salah mereka jika mereka diperlakukan seperti itu oleh lingkungannya. Self-blaming itu lah yang membuat korban kecil hati, merasa bahwa dirinyalah yang tidak pantas berada di lingkaran itu.
Pengalaman tersebut telah mengubah diri saya menjadi lebih kuat, selama kuliah saya melakukan banyak hal berarti dan mengukir prestasi. Saya tidak mau ingatan itu mengotori diri saya. Saya ingin menguatkan orang lain untuk percaya bahwa diri mereka berharga. Tidak ada yang pantas menghakimi diri kita selain Tuhan.
Maaf bukan sesuatu yang saya inginkan. Namun satu yang saya sesalkan, mengapa saya tidak pernah membela diri saya sendiri kala itu.