Monday, May 25, 2009

As mad as a hatter

color pencil on paper a4 size

Ini adalah gambar saya yang sedang berkostum Madhatter (dalam bahasa Indonesia: Gendeng Penopi, kata si Ghina). Madhatter ini adalah tokoh seseorang dengan gangguan jiwa dalam Alice' s Adventures in Wondeland. Errr.. sepertinya saya tergila-gila dengan tokoh tokoh dalam buku dongeng.

Cerita tentang Perdu Berbunga Merah Jambon

Di sebuah tepian sungai
Tumbuh perdu-perdu dengan bunga berwarna merah jambon
Ada seorang gadis yang suka meniup daun-daunnya dengan di katupkan diantara bibirnya
Daun itu menciptakan sebuah melodi

Lain hari
Seorang pemuda dengan penuh amarah mencabuti perdu-perdu itu
Tak disisakan barang sedikit

Lain hari
Seorang kakek menaburkan benih
Dengan diiringi senandungnya yang lirih, benih-benih itu tumbuh

Lain hari
Seekor musang liar mengencingi perdu baru itu
Bunganya yang berwarna merah jambon seketika berubah jadi hitam
Baunya tak karuan

Lain hari
Pemuda pemarah yang waktu itu datang membawa gadisnya
Diajarkannya meniup daun
Daun itu begitu bau
Busuk sekali
Daunya tak mau berbunyi

Lain hari
Gadis peniup daun menemukan perdunya berubah
Ia menangis
Tetes tangisnya membuat langit ikut bersedih
Seketika hujan turun
Dan perdu itu kembali seperti semula

Lain hari
Kakek membawa nenek kesana
Mereka bertamasya
Nenek bahagia disaat-saat terakhirnya
Nenek meninggal disana
Kakek menangis tersedu
Diputuskannya nenek akan dikubur dekat perdu kesayangannya

Lain hari
Si gadis memetik daun
Di setiap nadanya ada pesan rindu dari nenek
Seketika gadis itu menangis

Lain hari
Kakek datang berziarah
Bersamanya seorang pemuda tampan
Cucunya dari desa lain
Cucu kesayangan nenek

Lain hari
Gadis itu kesana dan bertemu seorang pemuda
Cucu nenek yang tampan sedang berziarah
Gadis itu meniup daun perdu
Pemuda itu terperangah
Jatuh hati kepada gadis peniup daun

Lain hari
Mereka menikah
Kakek bahagia, telah bertambah anggota keluarganya
Gadis dan pemuda itu bahagia
Begitu pula dengan perdu berbunga merah jambon

Puisi yang Terlintas Saat Melamun

Manik-manik
Kecil
Berkilau
Diuntai jadi tasbih atau jadi kalung?
Jadi tasbih guna mengingat ilahi
Jadi kalung guna menghias diri yang kelewat rombeng
Jadi apa maunya?
Kulihat manik-manik di mata itu
Iri rasanya
Manik-manik
Aku mau mata itu
Mata bermanik-manik
Manik-manik
Lucu pelafalannya
Manik-manik baru akan berkilau bila ada sinar
Ah.. Saya tak mau jadi manik-manik
Saya tidak butuh sinar lain untuk jadi istimewa
Bergantung pada hal lain
Jangan begitu lah
Sinar itu harus datang dari dalam sini kan?
Kilaumu jangan dari sinar lain
Kau bisa berusaha sendiri kan?

Masih ingat ketika kita buat pesawat kertas bersama?
Kupilih kertas warna lembayung
Kau tak mau
Kau bilang kelewat sendu
Dipilihnya kertas warna merah
Aku benci warna merah
Mengingatkan akan luka yang tertoreh
Kuambil kertas merah itu dari tanganya
Kurobek jadi sobekan-sobekan kecil
Biarkan aku memakai kertas lembayung
Kutinggalkan dia sendiri ditemani sobekan
Aku bahagia denagn kertas lembayungku

Saya melihatnya
Kupu-kupu dengan sayap biru dan lembayung dengan bercak-bercak hitam
Persis kesukaan saya
Saya mencoba menangkapnya
Satu kepak
Satu langkah
Dua kepak
Dua langkah
Tiga kepak
Tiga langkah
Pergi terbang
Saya kejar
Diam
Saya mengendap
Namun saya takut menyergapnya
Khawatir sayapnya akan patah
Lebih baik digambar saja
Lebih bertahan lama

Sebuh tembok imaginer
Tak kasat mata bagi pendosa
Setiap kali kuberjalan
Selalu menabraknya
Tembok itu berpindah, pikirku
Lain hari
Aku berjalan dengan penuh awas
Sekali lagi luput
Terjerembab jatuh
Tapi tak tahu mengapa
Kuraba sesuatu yang solid
Ah lagi-lagi tembok itu
Lain hari aku berjalan berjinjit pelan-pelan
Pendengaran kupertajam
Sekali lagi luput
Terantuk hingga berdarah
Kuketuk angin di depanku
Ah lagi-lagi tembok itu
Tak kutemukan cara untuk mengelabuinya
Tak kutemukan cara untukmengelaknya
Mengapa tak berhenti jadi pendosa?

Saturday, May 16, 2009

A Girl with Kaleidoscope Eyes

Watercolor on paper A2 size


Lucy in the Sky with Diamonds

Picture yourself in a boat on a river,
With tangerine trees and marmalade skies
Somebody calls you, you answer quite slowly,
A girl with kaleidoscope eyes.
Cellophane flowers of yellow and green,
Towering over your head.
Look for the girl with the sun in her eyes,
And she's gone.
Lucy in the sky with diamonds.
Follow her down to a bridge by a fountain
Where rocking horse people eat marshmellow pies,
Everyone smiles as you drift past the flowers,
That grow so incredibly high.
Newspaper taxis appear on the shore,
Waiting to take you away.
Climb in the back with your head in the clouds,
And you're gone.
Lucy in the sky with diamonds,
Picture yourself on a train in a station,
With plasticine porters with looking glass ties,
Suddenly someone is there at the turnstyle,
The girl with the kaleidoscope eyes.

Ini lagu The Beatles kesukaan saya, Lucy in the sky with diamonds. Setiap mendengarkan lagu ini saya merasa berada di dunia yang warna-warni dan absurd. Ini gambar tampang saya waktu masih berumur 6 tahun. Ketika saya masih suka main di pekarangan rumah nenek saya bersama adik saya dan juga anak tetangga. Hari-hari yang menyenangkan. Ketika saya masih bisa mencium wangi kue Ontbijkoek dari dapur nenek saya. Kue kesukaan saya, sekarang sudah tidak ada lagi kue seenak itu. Beliau sudah tidak ada.

Kaleidoskop
Bergerak cepat
Jangan buang waktu untuk berkedip
Nanti kamu menyesal
Melewatkan sebuah imagi yang tercipta sekelebat
Saya tak mau melewatkannya barang sedikitpun
Magenta
Lembayung
Turquoise
Hijau jeruk nipis
Semuanya menjadi satu
Menjadi bentukan indah dalam benda itu
Bahagianya
Bayangkan jika mata kita terbuat dari kaleidoskop
Setiap hari hanya melihat keindahan optis
Saya pernah mengenal gadis itu
Gadis yang bermata kaleidoskop
Senyumnya selalu merekah
Semua indah dalam pandangannya
Dibagi keindahannya itu untuk orang lain
Tapi itu dulu



Thursday, May 14, 2009

Puisi yang Terinspirasi dari Perkataan Orang Tidak Dikenal

Kau bilang dari rumahmu hingga ke padang rumput itu jauh?
Kau bilang dari rumahmu ke rumah ibumu jauh?
Kau bilang dari rumahmu ke pusara ayahmu jauh?
Kau bilang dari rumahmu ke rumahku jauh?
Mari sini kuberitahu apa yang paling jauh
Jarak antara kamu dan hati kecilmu
Oh iya, perlu juga kusadarkan
Langkah kakimu kelewat pendek

Pernahkah kau coba untuk katupkan mata?
Tanpa indra untuk melihat
Tanpa lensa
Tanpa cahaya
Kadang saat siang
Bukan hanya hitam
Tetapi merah, kuning, hijau, biru
Bergantian
Cepat
Seperti kaleidoskop
Coba alihkan kepada hembusan nafasmu sendiri
Perlahan
Kau rasakan ritme yang sama dengan alam
Bersyukurlah
Lalu tak hanya itu
Ada sesuatu yang sangat halus sangat ringkih
Tak terjamah tanganmu yang belepotan keteledoran
Sejauh kau memelihara kealpaanmu
Tak pernah kau coba kau intip, kan?
Ya, itu adalah sesuatu yang kau simpan dibalik semua keangkuhan itu
Ya, itu adalah aku
Takut

Saya tahu, matahari yang saya pandang sama dengan matahari yang ia pandang
Tapi saya tak tahu kapan kami bisa melihat matahari bersama
Saya tahu, jalan yang saya lewati setiap hari sama dengan jalan yang ia lewati
Tapi saya tak tahu kapankami bisa melewati jalan ini bersama
Pandirnya saya
Mengapa tak mencoba menjadi matahari saja?
Mengapa tak mencoba menjadi jalan saja?

Little Red Riding Hood



color pencil on paper A4 size

Ini adalah si kerudung merah yang terkenal itu. Tapi kali ini saya yang jadi kerudung merah. Biar ikutan terkenal. Tapi gak akan dimakan serigala kok. Saya khan cukup pintar untuk membedakan yang mana manusia yang mana serigala.