Sudah lama saya tidak menulis dengan konteks seperti ini. Selamat kepada Jakarta atas keberhasilan pesta demokrasi pemilihan gubernur. Mungkin saya disini bukan mempermasalahkan yang terpilih. Ya, saya memang memilih Fauzi Bowo, tapi itu bukan berarti saya tidak memilih dengan hati nurani dan bukan berarti saya adalah bodoh adanya, apalagi dapat nasi bungkus. Ada beberapa pertimbangan dan salah satunya adalah karena para pendukung Jokowi yang sebagian besar berbasis di dunia maya adalah pelaku Cyber Bullying yang amat keterlaluan menurut saya. Setiap ada orang yang memiliki pemikiran berseberangan akan langsung dicaci-maki dengan kata-kata kasar yang tidak manusiawi.
Saya memiliki trauma tersendiri terhadap bullying. Ya, memang saya punya pengalaman buruk semasa bersekolah di Jakarta.
Saya lahir di Jakarta dan menghabiskan masa kanak-kanak di Jakarta. Hingga pada suatu masa kami sekeluarga pindah ke Bekasi, walau praktis menjadi 'warga' karena memang banyak menghabiskan waktu di rumah nenek saya di Jakarta. Namun ketika saya memilih melanjutkan pendidikan di Jakarta, kami sekeluarga akhirnya kembali ke Jakarta. Semasa sekolah saya mendapatkan tamparan yang begitu keras, murid di sekolah itu memang banyak yang merupakan pelaku penindasan, walaupun masih ada tentunya orang-orang baik disekitar saya. Namun, kejadian demi kejadian sudah kadung mengguncang jiwa saya, bahkan sampai sekarang.
Perilaku bullying didasari oleh kebencian yang tidak berkelas dan tidak jelas. Cyber bullying terlebih lagi, karena sifatnya adalah hit and run, sehabis memojokkan toh tidak bisa dibalas, akunnya saja anonim. Toh yang mencela bukan berarti sudah paling mengerti permasalahnya, bukan kah kita hanya tahu duduk perkara dari media massa? Butuh berapa lama sih bagi kita untuk menyadari bahwa media massa itu sangat politis, tergantung kepentingan dari si empunya?
Apakah kita semua tahu bagaimana duduk perkara di kota ini secara menyeluruh?
Apakah kita jelas tahu siapa yang salah atau benar?
Apakah kita sudah pantas menghakimi orang lain?
Begitu yakinnya para pendukung bahwa kompetitor adalah orang paling berdosa dan semua yang dilakukannya adalah kebohongan publik.
Tak heran kalau masyarakat di kota ini bisa menggebuki orang seenaknya karena dituduh mencopet padahal belum tentu.
Tak heran tawuran sering terjadi, bahkan bisa mengakhiri hidup korban-korban yang seharusnya masih punya kesempatan untuk meraih mimpi mereka.
Mental Penindas itu adalah awal dari itu semua.
Isu SARA menjadi pembenaran untuk menggencet lawan yang disinyalir sebagai biangnya perpecahan. Tahu kah Anda Sekalian bahwa praktek-praktek politik itu belum tentu dilakukan oleh orang yang bersangkutan, bisa jadi dari itu bahkan dari sisi yang Anda bela, walaupun mungkin itu bukan datang dari tokoh yang Anda sekalian junjung, bisa jadi itu orang-orang di belakang layar, yang sengaja mengambil keuntungan dari perpecahan kita. Janganlah terlalu naif untuk mengambil kesimpulan.
Jauhilah fanatisme, itu akan membawa kita kepada pergumulan yang subversif. Kasihan Pak Jokowi harus menanggung malu para pendukung yang tidak mau berpikir jernih. Ada tugas besar, Pak, untuk ke depan, yaitu membuat warga Jakarta lebih toleran atas perbedaan pendapat. Semoga berhasil mengarungi kota yang penuh dengan hati-hati penindas, semoga hati bapak cukup bersih sehingga bisa menginspirasi para penindas itu untuk meninggalkan kebiasaan mereka.