Monday, April 15, 2013

Cita-Cita Dalam Hidup

Ratu Rizkitasari Saraswati
Site Specific Installation
2012


Saya baru saja sadar, lucunya disadarkan ketika disodorkan isian testimoni wisudawan yang diberikan oleh kampus saya. Ternyata cita-cita dalam hidup saya bukanlah untuk menjadi seniman besar. 

Saya ingin mendirikan organisasi anti-bullying. Semasa sekolah berkali-kali saya dibully, sampai habis rasanya harga diri ini. Bingung rasanya harus percaya kepada siapa. Bahkan orang dewasa yang patutnya membantu, seperti guru BK, justru menyalahkan saya karena dianggap terlalu sensitif. 

Di Indonesia, bullying bukanlah masalah yang dianggap serius. Banyak yang meremehkan kasus bullying sebagai kasus pergaulan biasa. Padahal apakah ada yang lebih buruk daripada membangun kepercayaan bahwa diri kita lebih baik mati daripada mesti mengalami perlakuan buruk setiap hari di lingkungan kita. Ah cengeng! Masa baru diperlakukan seperti itu pikirannya mau bunuh diri? Coba katakan itu kepada keluarga yang salah satu anggotanya meninggal bunuh diri akibat bullying, Anda akan malu.

Banyak yang berhasil mengenyahkan pikiran bunuh diri maupun menyakiti diri sendiri. Banyak orang yang saya kenal masih trauma dengan rangkaian peristiwa bullyingnya di masa lalu. Sebut saja PTSD (Post Traumatic Stress Dissorder), yaitu salah satu efek jangka panjang akibat kejadian buruk di masa lampau. Banyak dari orang yang saya kenal itu merasa diri mereka tidak berharga, dan tidak mampu menjalani hidup mereka, padahal peristiwa bullying yang menimpa mereka telah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Tapi hal tersebut masih saja mengganggu mereka bahkan dalam mimpi-mimpi mereka.

Mungkin sebagian besar pelaku bullying tidak sadar apa yang mereka lakukan benar-benar berpengaruh besar pada korban. Mereka bersembunyi pada kelompok besar teman sebaya yang telah terbiasa bekerja sama menyudutkan orang yang lebih lemah. Menjadikan setiap centimeter dari tubuh korban sebagai olok-olok, entah pakaian, mimik, postur tubuh, cara berjalan, apapun yang mereka bisa tertawakan. Meskipun itu tidak lucu.

Mungkin itu hanya tatapan jijik, mungkin juga perkataan bodoh.
Bisa jadi juga tamparan di pipi, ludah di muka, bahkan tonjokan membiru di tubuh.

Lalu mereka membuat nama panggilan sebagai kata sandi, supaya lebih leluasa untuk mengolok sang korban. Mereka berkerumun, berguman seperti lebah, mendiskusikan bagaimana caranya agar orang-orang lain semakin membencinya. Menciptakan isu, menyebarkannya bagai virus penyakit. Tebak siapa yang terinfeksi? Korban kita.

Waktu telah berjalan sedemikian jauh, mungkin mereka sudah lupa apa yang mereka lakukan. Mereka menjalani hidup tanpa ada setitik ingatan pun akan apa yang pernah mereka lakukan. Namun korban bullying akan hidup bersama dengan memori itu selamanya, mencoba mengais apa yang tersisa dalam diri mereka.

Mereka butuh teman yang mendengarkan. Bersyukur saya punya beberapa karib yang selalu ada di masa-masa sulit itu. Arimbi, Nurin, Nadya, makasih banyak ya.

Sekarang saya sering mengobrol dengan teman-teman yang pernah mengalami bullying, setidaknya kami bisa saling membantu. Alangkah baiknya jika pertolongan maupun konseling diberikan mereka. Setidaknya mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian, dan bukan salah mereka jika mereka diperlakukan seperti itu oleh lingkungannya. Self-blaming itu lah yang membuat korban kecil hati, merasa bahwa dirinyalah yang tidak pantas berada di lingkaran itu.

Pengalaman tersebut telah mengubah diri saya menjadi lebih kuat, selama kuliah saya melakukan banyak hal berarti dan mengukir prestasi. Saya tidak mau ingatan itu mengotori diri saya. Saya ingin menguatkan orang lain untuk percaya bahwa diri mereka berharga. Tidak ada yang pantas menghakimi diri kita selain Tuhan.

Maaf bukan sesuatu yang saya inginkan. Namun satu yang saya sesalkan, mengapa saya tidak pernah membela diri saya sendiri kala itu.



Saturday, December 29, 2012

Defying Gravity

Unlimited
My future is unlimited
And I've just had a vision
Almost like a prophecy
I know - it sounds truly crazy
And true, the vision's hazy
But I swear, someday I'll be...

Flying so high! (Defying gravity)
Kiss me goodbye! (Defying gravity)

So if you care to find me
Look to the western sky!
As someone told me lately:
"Everyone deserves the chance to fly!"

I'm defying gravity!
And you won't bring me down!
Bring me down!
Bring me down!


Itu adalah petikan lirik yang selalu memberikan saya semangat.

Bertahun-tahun merasa selalu dijegal oleh liyan, saya kini telah mendapatkan suatu kebulatan tekad. Tidak ada yang bisa menghentikan jalan saya. Kadang perasaan itu begitu kuat sampai rasanya ingin meledak saja. Mimpi itu rasanya begitu nyata, nampak betul-betul terkemas sinematik di kepala saya. Seluruh bulu kuduk turut berdiri seraya mengungkapkan rasa setuju atas kebenaran hal tersebut.

Semua orang patut meraih cita-citanya, begitu pula saya. 

Sunday, November 25, 2012

Perihal Berkata-kata

Call me conservative. Call me sensitive.
But, I can't stand hearing this mean words.
"Jijik"
"Sexy"
"Sakit"
"Idiot"
Penggunaan kata-kata diatas biasanya digunakan dengan nada dan ekspresi tertentu hingga bisa dikategorikan keji.

Kata-kata seperti itu seperti lumrah dikatakan sehari-hari.

Saya pernah meledak bahkan beberapa kali karena mendengar kata-kata seperti itu diumbar. Kata-kata bisa jadi hal yang sangat kuat, untuk meninggikan maupun merendahkan. Apapun jika tidak pada konteksnya, namun digunakan dengan intensi yang berkenaan untuk merendahkan, tidak bisa diberi kompromi. Tidak ada yang pantas menyebutkan kata-kata sejenis itu selayaknya mengatakan hal sepele.

Jijik. Seakan-akan ada hal yang sebegitu tercemar dan tercela, sampai membikin bergidik dan kepingin muntah.
Sexy. Sudah berarti berkenaan dengan hasrat seksual, yang berarti menujukan kepada subjek bahwa ia menimbulkan kemauan untuk berhubungan intim.
Sakit (jiwa). Pantas untuk dirawat, tidak sehat, terganggu kondisi mentalnya.
Idiot. Memiliki kekurangan yaitu keterbelakangan mental.
 

Kita ambil contoh yang terakhir. Bayangkan jika ada keluarga yang memiliki anggota dengan keterbelakangan mental, pantaskah Anda mengucapkan kata-kata itu sebagai kata sifat? Juga menjadikannya sebagai contoh dengan tujuan negatif. Kami (mungkin kata Kami disini bukan berarti seluruh orang di luar sana, hanya yang mau mendengar dengan seksama) sudah tahu bahwa orang dengan keterbelakangan mental  tidak memiliki kemampuan seperti orang pada normalnya, namun itu adalah sebuah kekurangan yang tidak diminta. Tuhan yang berikan cobaan itu, untuk keluarga dan orang sekitarnya.


"Filosofinya, semakin kurang beruntung nasib seorang anak karena penghasilan bapaknya rendah sekali, gizinya kurang, IQ-nya pas saja untuk tidak dikatakan idiot, masukkan dia ke sekolah unggulan tersebut. Karena itu negara yang bayar," kata Pak Wakil Gubernur.

"Saya bukan orang idiot lho, Pak. Walaupun saya tidak terlalu cerdas, saya juga tidak terlalu idiot. Daya ingat saya cukup baik. Makanya, saya tahu mana yang mainin saya. Di depan iya, iya, iya... di belakangnya mulai cari-cari celah. Saya langsung tahu," ucap Pak Wakil Gubernur.

Dear Mr. Deputy Governor, idiot is such a strong word.
Jika Anda peduli dengan kaum tak berpunya, jangan timbulkan anggapan bahwa mereka 'nyaris idiot'. Walaupun bawahan Anda memang bukan orang - orang yang bisa Anda percaya, lagi orang-orang tidak jujur dan serakah. Walaupun Anda tahu yang paling benar dan paling ideal menurut Anda (dan para pendukung Anda, serta konstitusi). 

Walaupun apapun, apa saja. 
Tolong hormati.

***

 “Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya
Buya Hamka 



Lain lagi kata-kata yang tidak secara jelas mengandung intensi negatif.
Bahkan kaya, kondisi berkecukupan pun bisa jadi tidak netral, seakan-akan jadi buruk.
 
 "Jika anak orang kaya punya Alphard, sekolah aja di Al Azhar, di SPH (Sekolah Pelita Harapan). Anak saya pun tidak boleh sekolah di MHT (Sekolah MH. Thamrin) karena MHT didirikan untuk anak-anak tidak mampu supaya mereka bisa mengubah nasib untuk masa yang akan datang. Jadi, jangan dibalik", begitu lagi kutipan dari video tersebut.

This one is really offensive to me. Keluarga saya, maupun keluarga teman-teman saya yang dulu sempat sekolah di Al-Azhar tidak sekaya yang Anda bayangkan. Keluarga saya berusaha keras agar anak-anaknya dapat pendidikan yang baik dengan landasan agama, jangan samakan sebagian siswa dengan seluruh siswa. Pars prototo tak manfaat. Terlebih Almarhum kakek saya memang sempat mengenal Buya Hamka, salah orang yang mendirikan perguruan itu dengan niatan baik. Jadi tolong hargailah sejarah.

Saya pun tidak bisa bilang bahwa sekolah Al-Azhar adalah sekolah yang sempurna. Tentu disana-sini banyak kekurangan, ya, saya tahu jelas, adik saya yang paling kecil  masih bersekolah (SMP) disana, banyak perilaku tidak mengenakkan dari pihak sekolah juga guru-guru. Namun toh saya tidak menyalahkan Al-Azhar sebagai perguruan, tetapi orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Adapun menjadi orang kaya tidak sepenuhnya salah, Pak. Mungkin Anda lupa ada orang-orang kaya yang dermawan, yang uangnya tidak dipakai untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tapi untuk umat, untuk orang lain yang memerlukan.

Saya mengerti, kita tidak bisa memuaskan semua orang, tapi kita bisa memilih-milih.
Anda adalah pemimpin yang saya hormati. Bijaklah memilih kata-kata Anda dalam berpendapat. 
Walaupun apapun, apa saja. 
Tolong hormati.

Jangan tambahkan lagi benih-benih kebencian di kota saya.

Wednesday, October 17, 2012

Ucapan Kakak Caca








"Teteh itu hebat, Teteh tahu bakat Teteh apa dan Teteh berusaha keras untuk menggapai mimpi Teteh"

Caca



Saya tidak pernah merasa berguna untuk orang lain, jangankan itu, bahkan merasa penuh pun tidak. Lantas apa yang mesti dibagikan? Tidak ada yang lebih. Jelas itu dikarenakan ada lubang di dasar paling dalam, yang terus-menerus menggerogoti mengambil alih bagian dari diri saya. Keping demi keping, sedikit demi sedikit. Hingga membuat diri saya ringsek, bobrok. Kebolongan itu lantas dijejali setan dan malaikat bersamaan. Pusing hendak mendengar celotehan yang mana, keduanya saling bersahutan tidak memberikan saya jeda.


Tapi sepupu kecil yang berusia 10 tahun itu bisa mengucapkan kata-kata yang membuat saya ingin menjadi lebih baik, hingga mulai menambal lubang dengan sekuat tenaga. Karena, jika saya bisa menjadi lebih baik, ia pun akan berusaha menjadi yang terbaik.


Kakak Caca itu cantik, rambutnya digerai saja. Tidak ada yang bisa melarang kakak Caca untuk menjadi diri kakak Caca yang sebenar-benarnya.

Tuhan dan Belas Kasih-Nya

Saya tidak tahu

Sama sekali

Bagaimana cara Tuhan berpikir

Mengenai pembalasan perilaku

Sampai kapan yang memiliki dosa didera

Tapi jelas,

Ia Maha Tahu yang terbaik

Di antara pendosa itu adalah sejawat saya

Saya pun juga setali tiga uang dengan mereka

Tuhan, saya titip mereka dalam belas kasih-Mu

Tolong berikan mereka lebih daripada yang Engkau berikan padaku

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Monday, October 1, 2012

Pemilihan Gubernur dan Cyber Bullying

Sudah lama saya tidak menulis dengan konteks seperti ini. Selamat kepada Jakarta atas keberhasilan pesta demokrasi pemilihan gubernur. Mungkin saya disini bukan mempermasalahkan yang terpilih. Ya, saya memang memilih Fauzi Bowo, tapi itu bukan berarti saya tidak memilih dengan hati nurani dan bukan berarti saya adalah bodoh adanya, apalagi dapat nasi bungkus. Ada beberapa pertimbangan dan salah satunya adalah karena para pendukung Jokowi yang sebagian besar berbasis di dunia maya adalah pelaku Cyber Bullying yang amat keterlaluan menurut saya. Setiap ada orang yang memiliki pemikiran berseberangan akan langsung dicaci-maki dengan kata-kata kasar yang tidak manusiawi.

Saya memiliki trauma tersendiri terhadap bullying. Ya, memang saya punya pengalaman buruk semasa bersekolah di Jakarta.

Saya lahir di Jakarta dan menghabiskan masa kanak-kanak di Jakarta. Hingga pada suatu masa kami sekeluarga pindah ke Bekasi, walau praktis menjadi 'warga' karena memang  banyak menghabiskan waktu di rumah nenek saya di Jakarta. Namun ketika saya memilih melanjutkan pendidikan di Jakarta, kami sekeluarga akhirnya kembali ke Jakarta. Semasa sekolah saya mendapatkan tamparan yang begitu keras, murid di sekolah itu memang banyak yang merupakan pelaku penindasan, walaupun masih ada tentunya orang-orang baik disekitar saya. Namun, kejadian demi kejadian sudah kadung mengguncang jiwa saya, bahkan sampai sekarang.

Perilaku bullying didasari oleh kebencian yang tidak berkelas dan tidak jelas. Cyber bullying terlebih lagi, karena sifatnya adalah hit and run, sehabis memojokkan toh tidak bisa dibalas, akunnya saja anonim. Toh yang mencela bukan berarti sudah paling mengerti permasalahnya, bukan kah kita hanya tahu duduk perkara dari media massa? Butuh berapa lama sih bagi kita untuk menyadari bahwa media massa itu sangat politis, tergantung kepentingan dari si empunya?

Apakah kita semua tahu bagaimana duduk perkara di kota ini secara menyeluruh?
Apakah kita jelas tahu siapa yang salah atau benar?
Apakah kita sudah pantas menghakimi orang lain?
Begitu yakinnya para pendukung bahwa kompetitor adalah orang paling berdosa dan semua yang dilakukannya adalah kebohongan publik.
Tak heran kalau masyarakat di kota ini bisa menggebuki orang seenaknya karena dituduh mencopet padahal belum tentu.
Tak heran tawuran sering terjadi, bahkan bisa mengakhiri hidup korban-korban yang seharusnya masih punya kesempatan untuk meraih mimpi mereka.
Mental Penindas itu adalah awal dari itu semua.

Isu SARA menjadi pembenaran untuk menggencet lawan yang disinyalir sebagai biangnya perpecahan. Tahu kah Anda Sekalian bahwa praktek-praktek politik itu belum tentu dilakukan oleh orang yang bersangkutan, bisa jadi dari  itu bahkan dari sisi yang Anda bela, walaupun mungkin itu bukan datang dari tokoh yang Anda sekalian junjung, bisa jadi itu orang-orang di belakang layar, yang sengaja mengambil keuntungan dari perpecahan kita. Janganlah terlalu naif untuk mengambil kesimpulan.

Jauhilah fanatisme, itu akan membawa kita kepada pergumulan yang subversif. Kasihan Pak Jokowi harus menanggung malu para pendukung yang tidak mau berpikir jernih. Ada tugas besar, Pak, untuk ke depan, yaitu membuat warga Jakarta lebih toleran atas perbedaan pendapat. Semoga berhasil mengarungi kota yang penuh dengan hati-hati penindas, semoga hati bapak cukup bersih sehingga bisa menginspirasi para penindas itu untuk meninggalkan kebiasaan mereka.

Friday, September 28, 2012

Orang

Mungkin ini nampak sok heroik
Cuma saya tahu jelas bagaimana rasanya tidak dianggap sebagai orang
Maka saya ingin jadi orang
Entah harus bagaimana pun saya akan coba
Mau dikata sinting
Saya cuma ingin entitas seperti saya yang sering dianggap bukan orang ini terwakilkan
Biar nanti saya bisa tahbiskan entitas itu menjadi orang-orang
Suka atau tidak suka

 

Sunday, July 22, 2012

Perkara Baru-Lama

Kadang-kadang saya bingung bagaimana caranya untuk bisa menulis seperti dulu lagi. Jika meninjau tulisan-tulisan saya dulu, mengapa rasanya saya yang sekarang sudah jauh-jauh-jauh berubah. Susah rasanya untuk memudahkan. Gampang rasanya untuk menyulitkan.

Masalah Barang

Sudah barang tentu mereka datang untuk tertawa
Barangkali itu untuk saya
Barangkali juga untuk sesama mereka

Namun dari sekian kali saya sembarang membuat turus
Kebanyakan memang untuk saya urus