Unlimited
My future is unlimited
And I've just had a vision
Almost like a prophecy
I know - it sounds truly crazy
And true, the vision's hazy
But I swear, someday I'll be...
Flying so high! (Defying gravity)
Kiss me goodbye! (Defying gravity)
So if you care to find me
Look to the western sky!
As someone told me lately:
"Everyone deserves the chance to fly!"
I'm defying gravity!
And you won't bring me down!
Bring me down!
Bring me down!
Itu adalah petikan lirik yang selalu memberikan saya semangat.
Bertahun-tahun merasa selalu dijegal oleh liyan, saya kini telah mendapatkan suatu kebulatan tekad. Tidak ada yang bisa menghentikan jalan saya. Kadang perasaan itu begitu kuat sampai rasanya ingin meledak saja. Mimpi itu rasanya begitu nyata, nampak betul-betul terkemas sinematik di kepala saya. Seluruh bulu kuduk turut berdiri seraya mengungkapkan rasa setuju atas kebenaran hal tersebut.
Semua orang patut meraih cita-citanya, begitu pula saya.
"Idiot" Penggunaan kata-kata diatas biasanya digunakan dengan nada dan ekspresi tertentu hingga bisa dikategorikan keji.
Kata-kata seperti itu seperti lumrah dikatakan sehari-hari.
Saya pernah meledak bahkan beberapa kali karena mendengar kata-kata seperti itu diumbar. Kata-kata bisa jadi hal yang sangat kuat, untuk meninggikan maupun merendahkan. Apapun jika tidak pada konteksnya, namun digunakan dengan intensi yang berkenaan untuk merendahkan, tidak bisa diberi kompromi. Tidak ada yang pantas menyebutkan kata-kata sejenis itu selayaknya mengatakan hal sepele.
Jijik. Seakan-akan ada hal yang sebegitu tercemar dan tercela, sampai membikin bergidik dan kepingin muntah.
Sexy. Sudah berarti berkenaan dengan hasrat seksual, yang berarti menujukan kepada subjek bahwa ia menimbulkan kemauan untuk berhubungan intim.
Sakit (jiwa). Pantas untuk dirawat, tidak sehat, terganggu kondisi mentalnya.
Idiot. Memiliki kekurangan yaitu keterbelakangan mental.
Kita ambil contoh yang terakhir. Bayangkan jika ada keluarga yang memiliki anggota dengan keterbelakangan mental, pantaskah Anda mengucapkan kata-kata itu sebagai kata sifat? Juga menjadikannya sebagai contoh dengan tujuan negatif. Kami (mungkin kata Kami disini bukan berarti seluruh orang di luar sana, hanya yang mau mendengar dengan seksama) sudah tahu bahwa orang dengan keterbelakangan mental tidak memiliki kemampuan seperti orang pada normalnya, namun itu adalah sebuah kekurangan yang tidak diminta. Tuhan yang berikan cobaan itu, untuk keluarga dan orang sekitarnya.
"Filosofinya,
semakin kurang beruntung nasib seorang anak karena penghasilan bapaknya
rendah sekali, gizinya kurang, IQ-nya pas saja untuk tidak dikatakan
idiot, masukkan dia ke sekolah unggulan tersebut. Karena itu negara yang
bayar," kata Pak Wakil Gubernur.
"Saya bukan orang idiot lho, Pak. Walaupun saya tidak terlalu cerdas,
saya juga tidak terlalu idiot. Daya ingat saya cukup baik. Makanya, saya
tahu mana yang mainin saya. Di depan iya, iya, iya... di belakangnya
mulai cari-cari celah. Saya langsung tahu," ucap Pak Wakil Gubernur.
Dear Mr. Deputy Governor, idiot is such a strong word.
Jika Anda peduli dengan kaum tak berpunya, jangan timbulkan anggapan bahwa mereka 'nyaris idiot'. Walaupun bawahan Anda memang bukan orang - orang yang bisa Anda percaya, lagi orang-orang tidak jujur dan serakah. Walaupun Anda tahu yang paling benar dan paling ideal menurut Anda (dan para pendukung Anda, serta konstitusi).
Walaupun apapun, apa saja.
Tolong hormati.
***
“Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya”
—
Buya Hamka
Lain lagi kata-kata yang tidak secara jelas mengandung intensi negatif.
Bahkan kaya, kondisi berkecukupan pun bisa jadi tidak netral, seakan-akan jadi buruk.
"Jika anak
orang kaya punya Alphard, sekolah aja di Al Azhar, di SPH (Sekolah Pelita Harapan). Anak saya pun tidak
boleh sekolah di MHT (Sekolah MH. Thamrin) karena MHT didirikan untuk anak-anak tidak mampu
supaya mereka bisa mengubah nasib untuk masa yang akan datang. Jadi,
jangan dibalik", begitu lagi kutipan dari video tersebut.
This one is really offensive to me. Keluarga saya, maupun keluarga teman-teman saya yang dulu sempat sekolah di Al-Azhar tidak sekaya yang Anda bayangkan. Keluarga saya berusaha keras agar anak-anaknya dapat pendidikan yang baik dengan landasan agama, jangan samakan sebagian siswa dengan seluruh siswa. Pars prototo tak manfaat. Terlebih Almarhum kakek saya memang sempat mengenal Buya Hamka, salah orang yang mendirikan perguruan itu dengan niatan baik. Jadi tolong hargailah sejarah.
Saya pun tidak bisa bilang bahwa sekolah Al-Azhar adalah sekolah yang sempurna. Tentu disana-sini banyak kekurangan, ya, saya tahu jelas, adik saya yang paling kecil masih bersekolah (SMP) disana, banyak perilaku tidak mengenakkan dari pihak sekolah juga guru-guru. Namun toh saya tidak menyalahkan Al-Azhar sebagai perguruan, tetapi orang-orang yang bekerja di dalamnya.
Adapun menjadi orang kaya tidak sepenuhnya salah, Pak. Mungkin Anda lupa ada orang-orang kaya yang dermawan, yang uangnya tidak dipakai untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tapi untuk umat, untuk orang lain yang memerlukan.
Saya mengerti, kita tidak bisa memuaskan semua orang, tapi kita bisa memilih-milih.
Anda adalah pemimpin yang saya hormati. Bijaklah memilih kata-kata Anda dalam berpendapat.
Walaupun apapun, apa saja.
Tolong hormati.
Jangan tambahkan lagi benih-benih kebencian di kota saya.
"Teteh itu hebat, Teteh tahu bakat Teteh apa dan Teteh berusaha keras untuk menggapai mimpi Teteh"
Caca
Saya tidak pernah merasa berguna untuk orang lain, jangankan itu, bahkan merasa penuh pun tidak. Lantas apa yang mesti dibagikan? Tidak ada yang lebih. Jelas itu dikarenakan ada lubang di dasar paling dalam, yang terus-menerus menggerogoti mengambil alih bagian dari diri saya. Keping demi keping, sedikit demi sedikit. Hingga membuat diri saya ringsek, bobrok. Kebolongan itu lantas dijejali setan dan malaikat bersamaan. Pusing hendak mendengar celotehan yang mana, keduanya saling bersahutan tidak memberikan saya jeda.
Tapi sepupu kecil yang berusia 10 tahun itu bisa mengucapkan kata-kata yang membuat saya ingin menjadi lebih baik, hingga mulai menambal lubang dengan sekuat tenaga. Karena, jika saya bisa menjadi lebih baik, ia pun akan berusaha menjadi yang terbaik.
Kakak Caca itu cantik, rambutnya digerai saja. Tidak ada yang bisa melarang kakak Caca untuk menjadi diri kakak Caca yang sebenar-benarnya.
Sudah lama saya tidak menulis dengan konteks seperti ini. Selamat kepada Jakarta atas keberhasilan pesta demokrasi pemilihan gubernur. Mungkin saya disini bukan mempermasalahkan yang terpilih. Ya, saya memang memilih Fauzi Bowo, tapi itu bukan berarti saya tidak memilih dengan hati nurani dan bukan berarti saya adalah bodoh adanya, apalagi dapat nasi bungkus. Ada beberapa pertimbangan dan salah satunya adalah karena para pendukung Jokowi yang sebagian besar berbasis di dunia maya adalah pelaku Cyber Bullying yang amat keterlaluan menurut saya. Setiap ada orang yang memiliki pemikiran berseberangan akan langsung dicaci-maki dengan kata-kata kasar yang tidak manusiawi.
Saya memiliki trauma tersendiri terhadap bullying. Ya, memang saya punya pengalaman buruk semasa bersekolah di Jakarta.
Saya lahir di Jakarta dan menghabiskan masa kanak-kanak di Jakarta. Hingga pada suatu masa kami sekeluarga pindah ke Bekasi, walau praktis menjadi 'warga' karena memang banyak menghabiskan waktu di rumah nenek saya di Jakarta. Namun ketika saya memilih melanjutkan pendidikan di Jakarta, kami sekeluarga akhirnya kembali ke Jakarta. Semasa sekolah saya mendapatkan tamparan yang begitu keras, murid di sekolah itu memang banyak yang merupakan pelaku penindasan, walaupun masih ada tentunya orang-orang baik disekitar saya. Namun, kejadian demi kejadian sudah kadung mengguncang jiwa saya, bahkan sampai sekarang.
Perilaku bullying didasari oleh kebencian yang tidak berkelas dan tidak jelas. Cyber bullying terlebih lagi, karena sifatnya adalah hit and run, sehabis memojokkan toh tidak bisa dibalas, akunnya saja anonim. Toh yang mencela bukan berarti sudah paling mengerti permasalahnya, bukan kah kita hanya tahu duduk perkara dari media massa? Butuh berapa lama sih bagi kita untuk menyadari bahwa media massa itu sangat politis, tergantung kepentingan dari si empunya?
Apakah kita semua tahu bagaimana duduk perkara di kota ini secara menyeluruh?
Apakah kita jelas tahu siapa yang salah atau benar?
Apakah kita sudah pantas menghakimi orang lain?
Begitu yakinnya para pendukung bahwa kompetitor adalah orang paling berdosa dan semua yang dilakukannya adalah kebohongan publik.
Tak heran kalau masyarakat di kota ini bisa menggebuki orang seenaknya karena dituduh mencopet padahal belum tentu.
Tak heran tawuran sering terjadi, bahkan bisa mengakhiri hidup korban-korban yang seharusnya masih punya kesempatan untuk meraih mimpi mereka.
Mental Penindas itu adalah awal dari itu semua.
Isu SARA menjadi pembenaran untuk menggencet lawan yang disinyalir sebagai biangnya perpecahan. Tahu kah Anda Sekalian bahwa praktek-praktek politik itu belum tentu dilakukan oleh orang yang bersangkutan, bisa jadi dari itu bahkan dari sisi yang Anda bela, walaupun mungkin itu bukan datang dari tokoh yang Anda sekalian junjung, bisa jadi itu orang-orang di belakang layar, yang sengaja mengambil keuntungan dari perpecahan kita. Janganlah terlalu naif untuk mengambil kesimpulan.
Jauhilah fanatisme, itu akan membawa kita kepada pergumulan yang subversif. Kasihan Pak Jokowi harus menanggung malu para pendukung yang tidak mau berpikir jernih. Ada tugas besar, Pak, untuk ke depan, yaitu membuat warga Jakarta lebih toleran atas perbedaan pendapat. Semoga berhasil mengarungi kota yang penuh dengan hati-hati penindas, semoga hati bapak cukup bersih sehingga bisa menginspirasi para penindas itu untuk meninggalkan kebiasaan mereka.
Mungkin ini nampak sok heroik
Cuma saya tahu jelas bagaimana rasanya tidak dianggap sebagai orang
Maka saya ingin jadi orang
Entah harus bagaimana pun saya akan coba
Mau dikata sinting
Saya cuma ingin entitas seperti saya yang sering dianggap bukan orang ini terwakilkan
Biar nanti saya bisa tahbiskan entitas itu menjadi orang-orang
Suka atau tidak suka
Kadang-kadang saya bingung bagaimana caranya untuk bisa menulis seperti dulu lagi. Jika meninjau tulisan-tulisan saya dulu, mengapa rasanya saya yang sekarang sudah jauh-jauh-jauh berubah. Susah rasanya untuk memudahkan. Gampang rasanya untuk menyulitkan.
Saya berada di persimpangan. Ada beberapa hal yang sepertinya tidak bisa hilang, membusuk di dalam. Namun kebusukan itu telah lama berdiam, menyatu dengan diri. Rasanya telah menjadi bagian dari katup-katup hidup.
Memang tak pelak, pilihan itu ada. Amputasi saja bagian busuknya. Namun disanalah asal semua asa dan harapan ini.
Wah Ternyata kita sudah lari cukup jauh saudara-saudari!
Musuh yang lama udah keliatan cere sekali! Kalau kita bertemu lagi, saya mau Anda jadi upik abu. Kalau kata seorang senior, mungkin jodohnya cuma sampai disitu...
Gila, saya gak ngerti kenapa hidup itu terus dibilang sama dengan roda? Roda, kadang di atas kadang di bawah.. Kadang jalan kadang berenti dong? Kadang salah alamat dong? Pasti menuju ke mana dong? Bisa kecelakaan dong? Pasti mati dong?
Dong Dong Dong
Bodo amat dong
Jangan-jangan selama ini kita berlari ke arah yang berlawanan dari tujuan kita.. Atau jangan-jangan malah kita sudah di jalan yang tepat.
Gak ada yang tau, weeeeeeeee.....
Happy new year and 'still' the same old you.
Please call me Saras. This is the name that they gave me at birth.