Kuliah baru jalan 3 minggu, tapi saya sudah dapet banyak pelajaran baru. Kuliah di seni rupa ini ternyata banyak banget ngasih saya hal-hal baru. Hidup di bumi ini, manusia terus belajar. Saya kadang suka merasa bosan belajar hal yang sama terus menerus. Tapi, semenjak masuk tingkat 2 ini. Rasanya ada tamparan keras buat saya. Saya ternyata belum memaknai apapun.
Saya tidak dekat dengan alam. Bagi saya, sepanjang saya tidak membuang sampah sembarangan sudah cukup. Pohon adalah properti yang diciptakan oleh Tuhan, semacam benda artisitik penunjang. Begitu pula dengan tanah, hanya sesuatu untuk dipijak, dan dengan mistiknya adalah intisari dari manusia, disebutkan dalam kitab suci. Global warming itu adalah omongan di koran, di majalah dan sering hanya menjadi sebatas slogan maupun pernak-pernik GO GREEN yang cukup maksa. Melengos kalo ditawarin masuk organisasi pencinta lingkungan.
Belajar manual membuat saya sadar. Cetakan yang setiap kali kita terima, mungkin brosur, mungkn fotokopian, mungkin juga buku, adalah shortcut. Benda-benda pakai yang kita kenakan dibuat masal menggunakan mesin-mesin industri. Kemarin saya baru dengar suatu hal: Kini kita hidup di dunia yang dilipat, sering melupakan proses.
Belajar mencetak manual di studio grafis, belajar bikin matriksnya dari papan kayu. Kayak mengingatkan saya dengan jelas. Tuhan kasih kita media untuk berkarya. Kayu itu punya nilai bagi kamu, Saras. Kayu itu punya sifat, kayu itu layak kamu hargai. Ia bisa hidup denganmu, layaknya juga kamu layak hidup dengannya. Lalu saya mengambil kuliah keramik pilihan. Tanah itu bernilai. Membuat barang seperti mangkok yang biasanya kamu temui dalam bentuk melamin bergambar itu tidak mudah. Tanah harus diolah, dengan tanganmu yang sombong. Yang tak tahu nilai alam. Tanah itu bisa bercerita banyak, sama seperti kertas yang biasanya kamu coret-coret sembarangan, lalu dibuang. Menyikapi tanah yang liat seperti menyikapi dirimu sendiri. Susah.
Belajar membuat karya dengan media kayu, rasanya benar-benar membuat saya malu dengannya, dengan kayu itu. Hei kami hidup disekitarmu, tapi kamu baru mau bersentuhan dengan kami sekarang? Tanah yang saya coba bikin menjadi bentukan-bentukan baru, seakan-akan mencemooh saya, Kamu lupa kalau kami juga bisa dibentuk dan diperlakukan dengan baik, bukan cuma untuk kamu injak?
Semuanya nampak nyata sekarang. Saya jadi sadar.
Menyikapi kayu, berbeda dengan menyikapi kertas HVS. Menyikapi tanah berbeda dengan menyikapi plastik melamin.
Belajar disini, membuat saya mau belajar banyak hal lagi. Belajar memperbaiki diri dan banyak persepsi sembrono.
Saya tidak dekat dengan alam. Bagi saya, sepanjang saya tidak membuang sampah sembarangan sudah cukup. Pohon adalah properti yang diciptakan oleh Tuhan, semacam benda artisitik penunjang. Begitu pula dengan tanah, hanya sesuatu untuk dipijak, dan dengan mistiknya adalah intisari dari manusia, disebutkan dalam kitab suci. Global warming itu adalah omongan di koran, di majalah dan sering hanya menjadi sebatas slogan maupun pernak-pernik GO GREEN yang cukup maksa. Melengos kalo ditawarin masuk organisasi pencinta lingkungan.
Belajar manual membuat saya sadar. Cetakan yang setiap kali kita terima, mungkin brosur, mungkn fotokopian, mungkin juga buku, adalah shortcut. Benda-benda pakai yang kita kenakan dibuat masal menggunakan mesin-mesin industri. Kemarin saya baru dengar suatu hal: Kini kita hidup di dunia yang dilipat, sering melupakan proses.
Belajar mencetak manual di studio grafis, belajar bikin matriksnya dari papan kayu. Kayak mengingatkan saya dengan jelas. Tuhan kasih kita media untuk berkarya. Kayu itu punya nilai bagi kamu, Saras. Kayu itu punya sifat, kayu itu layak kamu hargai. Ia bisa hidup denganmu, layaknya juga kamu layak hidup dengannya. Lalu saya mengambil kuliah keramik pilihan. Tanah itu bernilai. Membuat barang seperti mangkok yang biasanya kamu temui dalam bentuk melamin bergambar itu tidak mudah. Tanah harus diolah, dengan tanganmu yang sombong. Yang tak tahu nilai alam. Tanah itu bisa bercerita banyak, sama seperti kertas yang biasanya kamu coret-coret sembarangan, lalu dibuang. Menyikapi tanah yang liat seperti menyikapi dirimu sendiri. Susah.
Belajar membuat karya dengan media kayu, rasanya benar-benar membuat saya malu dengannya, dengan kayu itu. Hei kami hidup disekitarmu, tapi kamu baru mau bersentuhan dengan kami sekarang? Tanah yang saya coba bikin menjadi bentukan-bentukan baru, seakan-akan mencemooh saya, Kamu lupa kalau kami juga bisa dibentuk dan diperlakukan dengan baik, bukan cuma untuk kamu injak?
Semuanya nampak nyata sekarang. Saya jadi sadar.
Menyikapi kayu, berbeda dengan menyikapi kertas HVS. Menyikapi tanah berbeda dengan menyikapi plastik melamin.
Belajar disini, membuat saya mau belajar banyak hal lagi. Belajar memperbaiki diri dan banyak persepsi sembrono.
No comments:
Post a Comment